Selasa, 28 Desember 2010

Situs Kuno Ritual Pembantaian Sadis Anak-anak Ditemukan di Peru


"Ini sangat melampaui apa yang diperlukan untuk membunuh seseorang. Ini benar-benar bisa membuat Anda merinding."

Kerangka puluhan anak-anak yang dibantai sebagai bagian dari ritual korban berdarah, yang terjadi seribu tahun yang lalu, telah ditemukan di Peru utara.
Kerang-kerangka ini merupakan bukti awal ritual korban berdarah dan mutilasi anak-anak yang sejauh ini telah terlihat di kawasan Andes Amerika Selatan, demikian menurut pemimpin studi, Haagen Klaus.
Benih tanaman yang bisa melumpuhkan dan menimbulkan halusinasi, yang disebut Nectandra, berfungsi juga untuk mencegah pembekuan darah, telah ditemukan di dalam kerangka tersebut, menunjukkan bahwa anak-anak ini dibius terlebih dahulu sebelum tenggorokan mereka digorok dan dada mereka dibelah.
Selama pengorbanan, pisau perunggu yang tajam digunakan untuk menyayat anak-anak sampai mati. Satu kerangkanya memiliki lebih dari 25 tanda sayatan pada permukaannya. Beberapa kerangka lainnya memiliki tanda yang menunjukkan tangan dan kaki mereka diikat dengan tali.
“Ini sangat melampaui apa yang diperlukan untuk membunuh seseorang. Ini benar-benar bisa membuat Anda merinding,” kata Klaus, seorang antropolog dari Universitas Utah Valley di Orem, Utah.
“Tapi kami mencoba untuk memahami ini dari sudut pandang mereka, bukan sudut pandang kami.”
Anak-anak Korban Dianggap Bukan Manusia?
Delapan puluh dua kerangka orang Muchik – termasuk 32 yang sebagian besar atau seluruhnya masih utuh – telah ditemukan sejak tahun 2003 di lokasi Cerillos Cerro, Lembah Lima, di pantai utara Peru yang gersang.
Tidak jelas mengapa dada mereka dibelah, tapi ini mungkin untuk mencabut keluar jantung mereka, kata Klaus.
“Mereka menawarkan darah orang-orang ini … mereka memberi makan leluhur mereka dan mereka memberi makan pegunungan,” kata Klaus, yang studinya ini muncul dalam jurnal Antiquity, bulan Desember.
Dalam berbagai kebudayaan Andes, anak-anak mungkin telah dipandang sebagai medium untuk berkomunikasi dengan supranatural. Terlebih lagi, dalam kosmologi bangsa Muchik, anak-anak mungkin sama sekali belum dipandang sebagai manusia.
“Ketika bangsa Muchik mulai mengorbankan anak-anak, di mata mereka ini mungkin bukan mengorbankan orang, seaneh kedengarannya,” tambah Klaus.
Belatung Bagian dari Penghormatan Pemakanan
Setelah pembantaian berdarah usai, mayat anak-anak ini kemudian diawetkan dalam udara padang pasir selama setidaknya sebulan. Kepompong lalat yang kosong ditemukan bersama mayat anak-anak ini, menunjukkan bahwa belatung menghabisi daging mereka selama pembusukan alami.
Dalam kepercayaan kuno, lalat yang menetas membawa pergi roh anak-anak dan menandakan penghormatan pada pemakaman.
Kerangka llama juga ditemukan bersama mayat-mayat itu, menunjukkan bahwa pemakaman banyak korban disertai dengan pesta yang “khusyuk dan sangat serius”, yang melibatkan daging llama, catat Klaus.
Kepala dan kaki llama adalah “pemberian” bagi orang mati, mungkin tujuannya untuk memberi mereka makan di akhirat.
Evolusi Pengorbanan: Dari Tawanan Perang hingga Anak-anak
Lebih dari 80 pengorbanan dari tahun 900 hingga 1100 SM dilakukan oleh bangsa Muchik, yang menduduki pantai utara setelah kejatuhan bangsa Moche.
Bangsa Moche secara independen memerintah masyarakat pertanian, yang telah menguasai wilayah tersebut dari sekitar tahun 100 hingga 800 SM.
Ideologi politik dan agama kebudayaan Moche mulai hancur sekitar tahun 550 SM, setelah terjadinya El Niño yang menghancurkan, sebuah fenomena siklus yang secara dramatis dapat mengubah iklim.
Namun beberapa bagian dari budaya Moche masih tetap dipegang oleh bangsa Muchik – termasuk ritual pengorbanan manusia. Ritual yang dilakukan bangsa Moche sebenarnya hanya sebatas mengorbankan tawanan perang. Pembunuhan ritualistik pada tawanan perang ini memainkan peran utama di kalangan elit Moche. Tujuannya adalah untuk menenangkan roh para leluhur dan alam.
Namun tampaknya bangsa Muchik mengembangkan variasi tema dari ritual pengorbanan Moche ini. Korban untuk ritual mereka beralih pada anak-anak, menurut Klaus.
Muchik Dibiarkan Menggunakan Perangkatnya Sendiri
Orang-orang Muchik mampu mengembangkan ritual mereka sendiri meskipun mereka dikuasai oleh masyarakat etnis Sicán, yang mulai berkuasa dari tahun 900 SM.
Bangsa Sicán juga melakukan ritual pengorbanan manusia, namun metode pembunuhan dan pengaturannya sangat kontras dengan metode dari bangsa Muchik.
Bangsa Sicán, yang mungkin memiliki hubungan dengan kawasan yang sekarang adalah Ekuador selatan, “hadir selama kekosongan kekuasaan dengan berakhirnya bangsa Moche, dan dalam waktu seratus tahun mereka menciptakan perekonomian yang kuat, yang 400 tahun kemudian disaingi oleh bangsa Inca,” kata Klaus.
Para pemimpin Sicán sebagian besar lebih berfokus pada perdagangan dan lebih terampil dalam metalurgi, perikanan, pertanian, dan peternakan llama. Fokus mereka pada perekonomian ini memungkinkan bangsa Muchik leluasa menggunakan perangkat ritual mereka sendiri.
Bangsa Sicán yang lepas tangan terhadap jajahannya ini “adalah cara menjalankan negara yang sama sekali berbeda dengan apa yang kita gunakan dalam sistem barat,” kata Klaus.
Edward Swenson adalah arkeolog dari Universitas Toronto di Kanada yang mempelajari bangsa Moche.
Dia mengatakan bahwa argumen Klaus mengenai ritual pengorbanan Muchik yang berakar dari ritual bangsa Moche adalah menarik. Tapi dia mempertanyakan argumen yang berpendapat bahwa tindakan-tindakan mengerikan itu murni merupakan evolusi ideologi Moche selama pemerintahan Sicán.
“Para arkeolog cenderung mengurangi anggapan ritual menjadi … kontrol politik atau perlawanan,” katanya.
“Yang jelas, masih ada banyak lagi yang mengarah pada agama daripada sekedar ideologi politik.”

Sumber : http://www.faktailmiah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar