Sudah terlalu banyak masalah di Indonesia sehingga media internasional ikut menyoroti kondisi sepakbola Tanah Air...
Atas masukan dan melalui PSSI, FIFA memperingatkan agar penyelenggaraan sepakbola di Indonesia sejalan dengan otoritas resmi yang berlaku. Hal itu ditegaskan dalam surat resmi FIFA kepada PSSI yang sempat diragukan keabsahannya. Surat tersebut membahas perkembangan terkini sepakbola Indonesia, yaitu digelarnya Liga Primer (LPI) yang dinilai sebagai sebuah pembangkangan terhadap otoritas.
Perkembangan tersebut menjadi salah satu perhatian GOAL.com edisi Internasional, yang merupakan 'ibu kandung' dari edisi GOAL.com lainnya. Tidak kalah dengan maraknya berita seputar bursa transfer musim dingin di Eropa, Ewan Macdonald dan pemimpin redaksi edisi Indonesia Bima Said mencoba menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi di dunia sepakbola Indonesia.
Latar belakang Ketua Umum Nurdin Halid mendapat sorotan. Ketika Nurdin memerintah PSSI dari balik jeruji karena menjalani tiga jenis tindakan pidana yang berbeda-beda mulai dari korupsi gula, distribusi minyak goreng, serta tuduhan pelanggaran impor beras; FIFA seolah-olah tutup mata.
Posisi Nurdin sebagai kader Golkar jelas menimbulkan tanda tanya tentang penegakan semangat FIFA yang memisahkan campur tangan politik di dalam sepakbola. Jika dilihat sumber pendanaan kompetisi sepakbola Indonesia yang mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), tanda tanya itu jelas kian besar.
Masalah lain adalah pembenahan sistem selama PSSI diperintah Nurdin. Kompetisi model baru dengan nama Superliga Indonesia (ISL) digelar sejak 2008, tetapi tidak banyak perubahan yang terjadi. Lebih jelas lagi, tidak ada peningkatan kualitas yang signifikan. Prestasi klub-klub Indonesia di kancah Asia memalukan.
Juara ISL 2008/09 Persipura Jayapura, dengan segala hormat, dibombardir lawan-lawannya di Liga Champions Asia 2010. Dalam enam pertandingan, Persipura kebobolan 29 kali atau rata-rata hampir lima gol setiap kali berlaga. Saat melawan wakil Cina, Changchun Yatai, Persipura dilibas sembilan gol tanpa balas meski mampu membalasnya di Jayapura.
Di tengah situasi stagnan, sepakbola internasional masih menganggap eksistensi Indonesia. Ketika FIFA menggelar World Cup Trophy Tour, Indonesia menjadi salah satu tempat persinggahan. Rombongan trofi Piala Dunia bahkan disambut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Januari tahun lalu. Hal inilah yang kemudian mendorong Pemerintah memerhatikan sepakbola nasional.
Melalui bantuan beberapa pihak, bulan Maret 2010 digelar Kongres Sepakbola Nasional dengan tujuan memperbaiki sistem. Ada tujuh butir yaitu :
- PSSI perlu segera melakukan reformasi dan restrukturisasi atas dasar usul, saran dan kritik serta harapan masyarakat dan mengambil langkah-langkah konkret sesuai aturan yang berlaku untuk mencapai prestasi yang diharapkan masyarakat.
- Perlu adanya pembangunan dan peningkatan infrastruktur olah raga khususnya sepakbola.
- PSSI perlu meningkatkan komunikasi, koordinasi dan sinkronisasi dengan stakeholder terutama KONI dan pemerintah.
- Dilakukan pembinaan sejak usia dini melalui penanganan secara khusus melalui pendekatan Iptek, dengan melibatkan tim yang terdiri dari dokter, psikolog, pemandu bakat dan pakar olah raga serta perlu segera disusun kurikulum standar nasional untuk penyelenggaraan Sekolah sepakbola, PPLP, dan PPLM sepakbola.
- Metode pembinaan atlet pelajar/muda supaya juga memperhatikan pendidikan formalnya.
- Pemerintah menyediakan anggaran dari APBN dan APBD untuk mendukung dan menunjang target dan pencapaian sasaran untuk menuju prestasi (karena dana APBD masih diperlukan untuk stimultan)
- Perlu segera disusun dan dilaksanakan program pembinaan prestasi yang fokus kepada pembentukan tim nasional untuk menjadi juara dalam SEA Games 2011.
Rekomendasi Malang dan PSSI diharapkan melaksanakannya. Tapi, tidak ada tanda-tanda itikad menjalankan.
Ketika timnas Indonesia gagal menjuarai AFF Suzuki Cup pada Desember, sorotan kembali mengarah pada PSSI. Di samping kekecewaan karena gagal menjurai turnamen meski tim-tim lawan tampil dengan kualitas yang cenderung tidak kompetitif, publik juga kesal atas manajemen penyelenggaraan turnamen yang kacau balau -- terutama masalah penjualan tiket.
Seakan tidak memiliki kesempatan sela, sepakbola Indonesia kembali marak oleh kontroversi. Upaya sekelompok klub memperbaiki mutu kompetisi dengan nama LPI ditentang keras oleh PSSI.
LPI menjanjikan model kompetisi profesional, dengan jadwal yang tidak berubah-ubah, skuad profesional penuh, serta pembagian pendapatan termasuk hak siar televisi yang menggiurkan. Hal ini malah mengundang kemurkaan PSSI. Pada perkembangannya, menyeret campur tangan FIFA dengan ancaman sanksi pengucilan di pentas sepakbola internasional.
Dalam suratnya, FIFA memberi mandat kepada PSSI untuk menghukum semua klub pembangkang. Sanksi dapat merembet kepada perangkat pertandingan serta para pemain yang terlibat di LPI.
PSSI memiliki segala kewenangan yang ada, seperti mandat dari FIFA dan satu-satunya otoritas sepakbola resmi yang mengelola sepakbola negeri ini. Tetapi, di tataran praktis, rezim PSSI saat ini tidak memiliki dukungan dari akar rumput. Dengan pindahnya tiga klub ISL ke LPI, terbukti PSSI tidak dapat menyediakan jawaban yang memuaskan terhadap penyelenggaraan kompetisi yang bersih dan profesional.
Mungkin saja dukungan FIFA dan sekjen Jerome Valcke kepada PSSI salah alamat. Betul, FIFA memiliki regulasi yang ajeg dan harus dipatuhi tetapi sepertinya pengurus PSSI sekarang bukan orang yang tepat menjalankannya.
Sekadar mengendalikan sepakbola di negerinya saja tidak cukup bagi sebuah federasi nasional, tetapi juga harus memiliki visi mengembangkan sepakbola berjangka panjang. PSSI sudah terlalu lama mengenakan kosmetik untuk menutupi boroknya selama ini: kejujuran pengurus, sportivitas kompetisi, serta pemanfaatan dana negara yang tidak transparan.
Penyelenggaraan LPI seperti puncak dari segala masalah di tubuh PSSI. LPI sendiri sebenarnya masih punya segudang pertanyaan, antara lain apakah klub peserta bertahan hingga akhir kompetisi atau tidak ataupun apakah kompetisi menjawab kerinduan masyarakat Indonesia akan sebuah industri sepakbola yang maju dan profesional.
Jika ingin bersikap adil, FIFA dapat menggerakkan otoritasnya untuk mengusut pengelolaan sepakbola yang dilakukan PSSI. Bagaimana dengan masalah buruknya kualitas lapangan? Bagaimana dengan kualitas wasit yang memprihatinkan? Bagaimana dengan keterlambatan gaji pemain yang terjadi dari waktu ke waktu?
Jika LPI dianggap dapat memberi jawaban atas pertanyaan tersebut, pantaskah mereka dihukum? Mandat FIFA salah sasaran. LPI sepatutnya diberikan kesempatan menyelenggarakan kompetisi profesional tanpa harus diganggu ancaman, kecuali ada pihak-pihak tertentu yang ingin menonjolkan kekuasaan ketimbang masalah prinsip.
Sumber : Goal.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar